Selasa, 06 Agustus 2013

My Ektase

Tidak ada metode untuk mengenal diri. Mencari metode mau tidak mau menyiratkan
keinginan untuk mencapai suatu hasil—dan itulah yang dikehendaki oleh kita semua. Kita
mengikuti otoritas—jika bukan otoritas seseorang, maka otoritas sebuah sistem, atau sebuah
ideologi—karena kita menghendaki suatu hasil yang memuaskan, yang akan memberi kita rasa
aman. Kita sesungguhnya tidak menghendaki untuk memahami diri kita sendiri, dorongandorongan
dan reaksi-reaksi kita, seluruh proses berpikir kita, yang disadari maupun tak disadari;
kita lebih suka menjalankan sebuah sistem yang memberikan jaminan hasil. Tetapi menjalankan
sebuah sistem mau tidak mau adalah hasil keinginan untuk memperoleh rasa aman, memperoleh
kepastian, dan hasilnya jelas bukan pemahaman diri sendiri. Bila kita mengikuti sebuah metode,
kita harus menganut otoritas—Guru, Juruselamat, Master—yang akan menjamin bagi kita apa
yang kita inginkan; jelas ini bukan jalan untuk mengenal diri.

Apabila kita sadar akan diri kita sendiri, bukankah seluruh gerak kehidupan adalah jalan
untuk membongkar sang ‘aku’, ego, diri? Diri adalah proses yang amat rumit, yang hanya dapat
dibongkar dalam hubungan, dalam kegiatan kita sehari-hari, dalam cara kita bicara, cara kita
menilai, menghitung-hitung, cara kita mengutuk orang lain dan diri sendiri. Semua itu
mengungkapkan terkondisinya pikiran kita sendiri; dan tidakkah penting untuk menyadari seluruh
proses ini? Hanya melalui kesadaran akan apa yang benar dari saat ke saat terdapat penemuan
akan apa yang berada di luar waktu, yang abadi. Tanpa pengenalan-diri, yang abadi tidak
mungkin muncul. Bila kita tidak mengenal diri kita sendiri, yang abadi menjadi sekadar kata
semata-mata, suatu simbol, suatu spekulasi, suatu dogma, suatu kepercayaan, suatu ilusi yang
kepadanya batin bisa melarikan diri. Tetapi jika kita mulai memahami sang ‘aku’ dalam semua
sepak-terjangnya sehari-hari, maka di dalam pemahaman itu sendiri, tanpa upaya apa pun, apa
yang tak bernama, yang berada di luar waktu, muncul. Tetapi yang di luar waktu itu bukan
ganjaran bagi pengenalan-diri. Yang abadi tidak dapat dikejar; batin tidak bisa memilikinya. Ia
muncul bila batin hening, dan batin hanya bisa hening bila ia sederhana, bila ia tidak lagi
menimbun, mengutuk, menghakimi, menimbang-nimbang. Hanyalah batin yang sederhana yang
dapat memahami apa yang nyata, bukan batin yang penuh dengan kata-kata, pengetahuan,
informasi. Batin yang menganalisis, menghitung-hitung, bukanlah batin yang sederhana.

Penting dipahami apa pengenalan diri ini: sekadar sadar, tanpa memilih sedikit pun,
akan sang ‘aku’ yang bersumber pada seonggok ingatan—sekadar menyadarinya tanpa
menafsirkan, sekadar mengamati gerakan batin. Tetapi pengamatan itu terhalang bila Anda
mengumpulkan melalui pengamatan: apa yang harus dikerjakan, apa yang tak boleh dikerjakan,
apa yang harus dicapai; jika Anda lakukan itu, Anda mengakhiri proses yang hidup dari gerakan
batin sebagai diri. Artinya, saya harus mengamati dan melihat faktanya, yang aktual, apa adanya.
Jika saya mendekatinya dengan sebuah gagasan, dengan sebuah opini—misalnya, “saya harus
begini”, atau “saya tidak boleh begitu”, yang adalah respons ingatan—maka gerakan dari apa
adanya akan terhalang, terbendung; dan oleh karena itu, tidak terjadi belajar.

Hidup yang kita kenal, kehidupan sehari-hari kita, adalah suatu proses menjadi. Saya
miskin, dan saya bertindak dengan suatu tujuan dalam pandangan saya, yakni menjadi kaya. Saya
jelek dan ingin menjadi cantik. Oleh karena itu hidup saya adalah proses untuk menjadi sesuatu.
Keinginan untuk ada adalah keinginan untuk menjadi, pada tingkat kesadaran yang berbeda-beda,
dalam keadaan yang berbeda-beda, yang di situ terdapat tantangan, tanggapan, penamaan, dan
pencatatan. Nah, menjadi adalah pergulatan, menjadi adalah kesakitan, bukan? Itu adalah
perjuangan terus-menerus: saya sekarang begini, dan saya ingin menjadi begitu.

Dapatkah batin yang
mentah menjadi peka? Jika saya berkata batin saya mentah, dan saya mencoba menjadi peka,
maka upaya untuk menjadi peka itu sendiri adalah kementahan. Harap lihat ini. Jangan heran,
tetapi pandanglah. Sedangkan, jika saya melihat bahwa saya mentah tanpa ingin berubah, tanpa
mencoba menjadi peka, jika saya mulai memahami apa arti kementahan, mengamatinya dalam
hidup saya dari hari ke hari—cara makan saya yang rakus, cara saya memperlakukan orang
dengan kasar, kebanggaan, keangkuhan, kekasaran tingkah laku dan pikiran-pikiran saya—maka
pengamatan itu sendiri mentransformasikan apa adanya.
Demikian pula, jika saya bodoh dan saya berkata saya harus menjadi cerdas, maka upaya
untuk menjadi cerdas itu hanyalah wujud kebodohan yang lebih besar; oleh karena yang penting
adalah memahami kebodohan. Betapa banyak pun saya mencoba menjadi cerdas, kebodohan saya
tetap ada. Saya mungkin mencapai polesan di permukaan dengan belajar, saya mungkin mampu
mengutip dari buku-buku, membeo ucapan para penulis besar, tetapi pada dasarnya saya tetap
bodoh. Tetapi jika saya melihat dan memahami kebodohan ketika ia menampilkan diri dalam
kehidupan saya sehari-hari—bagaimana saya memperlakukan pelayan saya, bagaimana saya
memandang tetangga saya, orang miskin, orang kaya, pegawai rendah—maka kesadaran itu
sendiri menghasilkan runtuhnya kebodohan.

Tahukah Anda, apa yang saya maksud dengan diri? Yang saya maksud dengan itu adalah
gagasan, ingatan, kesimpulan, pengalaman, berbagai niat yang dapat disebut atau tidak, daya
upaya sadar untuk menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu, timbunan ingatan di bawah-sadar,
sifat rasial, kelompok, individu, marga, dan semuanya, entah itu diproyeksikan keluar dalam
tindakan, entah diproyeksikan secara spiritual sebagai kebajikan; perjuangan mengejar semua itu
adalah diri. Di dalamnya termasuk persaingan, keinginan menjadi sesuatu. Seluruh proses itu
adalah diri; dan kita tahu secara aktual—ketika kita menghadapinya—bahwa itu jahat. Saya
sengaja menggunakan kata ‘jahat’, oleh karena diri itu memecah-belah; diri itu menutup-diri;
kegiatannya, betapa pun mulia, terpisah dan terisolasi. Kita tahu semua itu. Kita juga tahu bahwa
adalah luar biasa saat-saat ketika diri itu tidak ada, yang di situ tidak terdapat rasa berupaya,
berjuang, dan yang terjadi apabila ada cinta.

Jika kita tidak punya kepercayaan, apakah yang akan terjadi dengan kita? Bukankah kita
sangat takut akan apa yang akan terjadi? Jika kita tidak mempunyai suatu pola tindakan
berdasarkan suatu kepercayaan—baik kepercayaan pada Tuhan, atau pada komunisme, atau
sosialisme, atau imperialisme, atau pada suatu rumusan religius tertentu, suatu dogma yang di
dalamnya kita terkondisi—kita merasa sama sekali kehilangan arah, bukan? Dan bukankah
menerima kepercayaan berarti menyelubungi ketakutan itu—ketakutan untuk berada sebagai
bukan apa-apa sama sekali, untuk kosong sama sekali? Bagaimana pun juga, sebuah cangkir
hanya bermanfaat kalau ia kosong; dan batin yang dipenuhi dengan kepercayaan, dengan dogma,
dengan pernyataan, dengan kutipan, sesungguhnya adalah batin yang tidak kreatif; itu cuma batin
yang mengulang-ulang. Untuk melarikan diri dari ketakutan itu—ketakutan akan kekosongan,
ketakutan akan kesepian, ketakutan akan kemandekan, tidak sampai, tidak berhasil, tidak
mencapai, tidak berada sebagai sesuatu, tidak menjadi sesuatu—sesungguhnya adalah salah satu
alasan mengapa kita menerima kepercayaan dengan begitu berminat dan begitu rakus, bukan?
Dan, dengan menerima kepercayaan, apakah kita memahami diri kita sendiri? Malah sebaliknya.
Suatu kepercayaan, entah religius entah politis, jelas menghalangi pemahaman diri sendiri. Ia
berperan sebagai tabir, yang melalui itu kita memandang diri kita sendiri. Dapatkah kita
memandang diri sendiri tanpa kepercayaan? Jika kita membuang kepercayaan-kepercayaan ini,
banyak kepercayaan yang kita miliki, masih adakah sesuatu untuk dipandang? Jika kita tidak
mempunyai kepercayaan yang dengan itu batin melihat dirinya, maka batin—tanpa identifikasi—
mampu memandang dirinya sendiri sebagai apa adanya—lalu, sesungguhnya terdapat awal dari
pemahaman diri sendiri.

Anda harus sadar akan proses kelekatan dan
kebergantungan, menyadarinya tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi; maka Anda akan melihat
makna dari konflik antara hal-hal berlawanan ini.

Memahami sepak-terjang kecerdikan, sepak-terjang diri, adalah awal dari
kecerdasan.

Sesungguhnya, hanya di dalam hubungan proses apa adanya diri saya terbabar, bukan?
Hubungan adalah cermin, yang di situ kita melihat diri kita seperti apa adanya; tetapi karena
kebanyakan dari kita tidak suka kepada diri kita seperti apa adanya, kita mulai mendisiplinkan,
entah secara positif entah secara negatif, apa yang kita lihat di dalam cermin hubungan.
Maksudnya, saya menemukan sesuatu di dalam hubungan, di dalam tindakan berhubungan, dan
saya tidak suka itu. Lalu, saya mulai mengubah apa yang saya tidak suka, apa yang saya lihat
sebagai tidak menyenangkan. Saya ingin mengubahnya—yang berarti saya sudah mempunyai
suatu pola tentang bagaimana saya seharusnya. Begitu ada pola tentang bagaimana saya
seharusnya, tidak ada lagi pemahaman terhadap apa adanya diri saya. Begitu ada gambaran saya
ingin menjadi seperti apa, atau saya harus menjadi apa—suatu standar yang berdasarkan itu saya
ingin berubah—maka jelas tidak ada pemahaman tentang apa adanya diri saya pada saat
berhubungan.

Fungsi Hubungan
Hubungan mau tidak mau menyakitkan, yang terlihat di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Jika di dalam hubungan tidak terdapat ketegangan, maka itu bukan lagi hubungan, melainkan
sekadar tidur yang nyaman, terbius—yang diinginkan dan lebih disukai oleh kebanyakan orang.
Konflik terjadi antara keinginan akan kenyamanan ini dengan apa yang faktual, antara ilusi dan
aktualitas. Jika Anda memahami ilusi itu, Anda dapat, dengan mengesampingkannya,
mengarahkan perhatian Anda untuk memahami hubungan. Tetapi jika Anda mencari rasa aman
dalam hubungan, itu menjadi investasi dalam kenyamanan, dalam ilusi—padahal kebesaran
hubungan justru terletak pada rasa tak-amannya. Dengan mencari rasa-aman dalam hubungan,
Anda menghalangi fungsinya, yang menghasilkan tindakan dan kemalangannya sendiri.
Sesungguhnya, fungsi hubungan adalah untuk mengungkap seluruh keadaan diri kita
sendiri. Hubungan adalah proses pengungkapan-diri, pengenalan-diri. Pengungkapan-diri ini
menyakitkan, menuntut penyesuaian, kelenturan pikiran-emosi terus-menerus. Itu adalah
pergulatan yang menyakitkan, dengan masa-masa kedamaian dengan pencerahan. ....
Tetapi kebanyakan kita menghindari atau mengabaikan ketegangan di dalam hubungan,
dan lebih menyukai kemudahan dan kenyamanan dalam kebergantungan yang memuaskan, rasa
aman yang tak punya tantangan, tempat berlabuh yang aman. Maka keluarga dan hubungan lain
menjadi tempat pelarian, pelarian bagi mereka yang tidak mau berpikir.
Bila rasa tak-aman menyelinap menjadi kebergantungan, seperti selalu demikian yang
terjadi, maka di situ hubungan dibuang dan hubungan baru diambil dengan harapan untuk
menemukan rasa aman yang lestari; tetapi tidak ada rasa aman dalam hubungan, dan
kebergantungan hanya menghasilkan ketakutan. Tanpa memahami proses rasa aman dan
ketakutan, hubungan menjadi penghalang yang membelenggu, jalan kegelapan. Maka seluruh
eksistensi ini menjadi pergulatan dan kesakitan, dan tidak ada jalan keluar dari situ kecuali
dengan berpikir benar, yang datang dengan pengenalan-diri.

Kita punya lusinan ketakutan. Dan mungkinkah untuk bebas sama sekali dari
ketakutan?
Kita bisa melihat apa yang dilakukan ketakutan terhadap masing-masing dari kita.
Ketakutan membuat kita berbohong; ketakutan merusak kita dalam berbagai hal; ketakutan
membuat batin tumpul, dangkal. Ada sudut-sudut gelap dalam batin yang tidak boleh diselidiki
dan diungkapkan selama kita takut. Melindungi-diri secara fisik, dorongan instinktif untuk
menjauh dari ular berbisa, untuk mundur dari tepi jurang, untuk mencegah agar tidak terpeleset di
depan trem listrik, dan sebagainya, adalah waras, normal, sehat. Tetapi saya mempertanyakan
tentang melindungi-diri secara psikologis, yang membuat orang takut akan penyakit, akan
kematian, akan musuh. Bila kita mencari pemenuhan dalam bentuk apa pun, entah dengan
melukis, melalui musik, melalui hubungan, atau apa pun keinginan Anda, selalu ada ketakutan.
Jadi, yang penting adalah sadar akan seluruh proses diri ini, mengamati, mempelajarinya, dan
bukan bertanya bagaimana cara melenyapkan ketakutan. Bila Anda hanya sekadar ingin
melenyapkan ketakutan, Anda akan menemukan cara-cara melarikan diri darinya, dan dengan
demikian tidak pernah ada kebebasan dari ketakutan.

Apakah kita takut terhadap fakta, atau takut terhadap gagasan tentang fakta? Apakah kita
takut terhadap suatu hal seperti apa adanya, atau takut terhadap apa yang kita pikirkan tentang hal
itu? Ambillah contoh, misalnya, kematian. Apakah kita takut terhadap fakta kematian, ataukah
terhadap gagasan kematian? Fakta tentang sesuatu tidak sama dengan gagasan tentang sesuatu itu.
Apakah saya takut terhadap kata ‘kematian’ , ataukah terhadap faktanya sendiri? Oleh karena
saya takut terhadap kata, gagasan, maka saya tidak pernah memahami faktanya, saya tidak pernah
memandang faktanya, saya tidak pernah berhubungan langsung dengan faktanya. Hanya apabila
saya menyatu sepenuhnya dengan faktanya, di situ tidak ada ketakutan. Jika saya tidak menyatu
dengan faktanya, di situ terdapat ketakutan; dan tidak ada penyatuan dengan fakta selama saya
memiliki gagasan, opini, teori, tentang fakta itu. Jika saya berhadapan muka dengan faktanya,
tidak ada yang perlu dipahami tentang itu: fakta itu ada, dan saya dapat menggarapnya. Jika saya
takut terhadap kata, saya harus memahami kata itu, menyelami seluruh proses yang tersirat di
dalam kata atau istilah itu.
Jadi, opini, gagasan, pengalamanku, pengetahuanku tentang faktalah yang menciptakan
ketakutan. Selama terdapat pengungkapan fakta dengan kata-kata, memberikan sebuah nama
kepada fakta, dan dengan demikian mengenalinya atau mengutuknya, selama pikiran sebagai si
pengamat menghakimi fakta, tentulah terdapat ketakutan. Pikrian adalah produk masa lampau; ia
hanya eksis melalui pengungkapan dengan kata-kata, melalui simbol-simbol, melalui gambargambar.
Selama pikiran mempunyai pendapat atau menerjemahkan fakta, tentulah terdapat
ketakutan.

yang penting bukanlah “bagaimana cara untuk bebas dari ketakutan.” Jika Anda
mencari suatu cara, suatu metode, suatu sistem untuk melenyapkan ketakutan, Anda akan
selamanya terperangkap dalam ketakutan. Tetapi jika Anda memahami ketakutan—yang hanya
dapat terjadi bila Anda berhadapan langsung dengannya, seperti Anda berhadapan langsung
dengan rasa lapar, seperti Anda berhadapan langsung dengan ancaman kehilangan pekerjaan
Anda—maka Anda melakukan sesuatu; hanya dengan itu Anda akan mendapati bahwa semua
ketakutan berakhir—saya maksudkan semua ketakutan, bukan ketakutan ini atau itu.

Berpikir Terus-Menerus Adalah Pembuangan Energi
Kebanyakan kita menghabiskan hidup kita dalam daya upaya, dalam pergulatan; dan
daya upaya itu, pergulatan itu, perjuangan itu, adalah pembuangan energi. Manusia, sepanjang
sejarah umat manusia, berkata, untuk menemukan realitas Tuhan—atau nama apa pun yang
diberikan kepadanya—Anda harus selibat; yakni Anda mengangkat sumpah kemurnian, lalu
menekan, mengendalikan, bertempur dengan diri Anda sendiri sepanjang hidup Anda, untuk
mempertahankan sumpah Anda. Lihatlah pembuangan energi itu! Mengumbar hawa nafsu juga
pembuangan energi. Dan jauh lebih berarti bila Anda menekan. Daya upaya yang dikerahkan
untuk menekan, untuk mengendalikan, untuk mengingkari keinginan Anda, mendistorsikan batin
Anda, dan melalui distorsi itu Anda memperoleh perasaan kesalehan, yang menjadi keras. Harap
simak ini. Amatilah dalam diri Anda sendiri dan amati orang-orang di sekitar Anda. Dan amati
pembuangan energi ini, pertempuran ini. Bukan implikasi dari seks, bukan perbuatan
sesungguhnya, melainkan cita-cita, gambaran, kenikmatan—berpikir terus-menerus tentang halhal
itu adalah pembuangan energi. Dan kebanyakan orang membuang energi, entah melalui
pengingkaran, entah melalui sumpah kemurnian, entah memikirkannya terus-menerus.

Apakah menghukum diri sendiri itu kehidupan religius? Apakah menyakiti badan atau
batin itu tanda pemahaman? Apakah penyiksaan-diri itu jalan menuju realitas? Apakah
menghindari seks itu pengingkaran? Apakah Anda bepikir, Anda dapat maju jauh dengan
pelepasan? Apakah Anda berpikir, perdamaian bisa muncul melalui konflik? Tidakkah cara jauh
lebih penting daripada tujuan? Tujuan adalah kemungkinan, tapi cara adalah saat kini. Yang
aktual, apa adanya, perlu dipahami dan bukan dibungkam dengan ketetapan hati, cita-cita, dan
rasionalisasi cerdik. Kesedihan bukan jalan kebahagiaan. Apa yang disebut gairah nafsu harus
dipahami dan bukan ditekan atau disublimasikan, dan tidak ada gunanya mencari pengganti
baginya. Apa pun yang Anda lakukan, cara apa pun yang Anda temukan, hanya akan memperkuat
apa yang belum dicintai dan dipahami. Mencintai apa yang kita namakan gairah nafsu adalah
memahaminya. Mencinta adalah menyatu langsung, dan Anda tidak dapat mencintai sesuatu jika
Anda menolaknya, jika Anda punya gagasan, atau kesimpulan tentang itu. Bagaimana Anda
mencintai dan memahami gairah nafsu jika Anda bersumpah melawannya? Sumpah adalah suatu
bentuk perlawanan, dan apa yang Anda tolak pada akhirnya akan menaklukkan Anda. Kebenaran
bukan untuk ditaklukkan; Anda tidak dapat menggempurnya; ia akan menyelinap dari jari-jari
Anda bila Anda mencoba memegangnya. Kebenaran datang diam-diam, tanpa Anda ketahui.
Yang Anda ketahui bukanlah kebenaran, itu cuma suatu gagasan, suatu simbol. Bayangan bukan
kenyataan.

Gairah untuk Segala Sesuatu
Bagi kebanyakan dari kita, gairah digunakan hanya dalam kaitan dengan satu hal, yakni
seks; atau Anda menderita dengan bergairah dan Anda mencoba memecahkan penderitaan itu.
Tetapi saya menggunakan kata ’gairah’ untuk suatu keadaan batin, suatu keberadaan, keadaan
dari inti batin Anda—jika itu ada—yang merasa secara kuat, yang amat peka—sama pekanya
terhadap debu, terhadap kekumuhan, terhadap kemiskinan, dan terhadap harta kekayaan yang
melimpah dan korupsi, terhadap keindahan sebatang pohon, terhadap seekor burung, terhadap air
yang mengalir, dan terhadap sebuah kolam yang memantulkan langit senja. Adalah perlu untuk
merasakan semua ini secara intens, secara kuat. Oleh karena tanpa gairah hidup ini kosong,
dangkal, tak punya banyak arti. Jika Anda tidak dapat melihat keindahan sebatang pohon, dan
mencintai pohon itu, jika Anda tak dapat peduli dengan itu secara intens, Anda tidak hidup.

Memahami Gairah Nafsu
Apakah menghukum diri sendiri itu kehidupan religius? Apakah menyakiti badan atau
batin itu tanda pemahaman? Apakah penyiksaan-diri itu jalan menuju realitas? Apakah
menghindari seks itu pengingkaran? Apakah Anda bepikir, Anda dapat maju jauh dengan
pelepasan? Apakah Anda berpikir, perdamaian bisa muncul melalui konflik? Tidakkah cara jauh
lebih penting daripada tujuan? Tujuan adalah kemungkinan, tapi cara adalah saat kini. Yang
aktual, apa adanya, perlu dipahami dan bukan dibungkam dengan ketetapan hati, cita-cita, dan
rasionalisasi cerdik. Kesedihan bukan jalan kebahagiaan. Apa yang disebut gairah nafsu harus
dipahami dan bukan ditekan atau disublimasikan, dan tidak ada gunanya mencari pengganti
baginya. Apa pun yang Anda lakukan, cara apa pun yang Anda temukan, hanya akan memperkuat
apa yang belum dicintai dan dipahami. Mencintai apa yang kita namakan gairah nafsu adalah
memahaminya. Mencinta adalah menyatu langsung, dan Anda tidak dapat mencintai sesuatu jika
Anda menolaknya, jika Anda punya gagasan, atau kesimpulan tentang itu. Bagaimana Anda
mencintai dan memahami gairah nafsu jika Anda bersumpah melawannya? Sumpah adalah suatu
bentuk perlawanan, dan apa yang Anda tolak pada akhirnya akan menaklukkan Anda. Kebenaran
bukan untuk ditaklukkan; Anda tidak dapat menggempurnya; ia akan menyelinap dari jari-jari
Anda bila Anda mencoba memegangnya. Kebenaran datang diam-diam, tanpa Anda ketahui.
Yang Anda ketahui bukanlah kebenaran, itu cuma suatu gagasan, suatu simbol. Bayangan bukan
kenyataan.

J. Krisnamurti